“Pergi!
Pergi semuanya…. Aku mohon, pergi,Aku tidak ingin bertemu kalian, aku ingin
sendiri. Pergi!!!”. Bagaimana bisa mereka melakukan ini padaku, Disaat aku
kacau seperti ini, kenapa mereka. Bukankah aku dan adikku yang harus kalian
pikirkan, mengapa kalian malah memikirkan diri kalian sendiri. Apa salahku
setelah semua ini terjadi hingga kalian memutuskan untuk bercerai, seolah
itu hal yang mudah.
Hari
ini adalah hari tepat masuk tahun ke lima di musim penghujan, meski sulit
membedakan mana musim penghujan dan tidak di kota ini, aku menarik nafas
perlahan mengucap syukur yang tak terkira
untuk Tuhan yang masih membuatku bertahan hidup dengan segala
keterbatasaku. “Akhirnya aku tau makna hidup. Terimakasih Tuhan Engkau
memberikan orang yang masih setia menemaniku hingga saat ini. Aku menyayangi
Nenek dan Nana.” Kuhirup nafas sedalam dalamnya sembari membuka payung dan
memanjangkan tongkat penuntun jalan menyambut hujan menetes dikulit tangan
langsatku. Langkahku terhenti ketika ada suara berat memanggilku, “Slavina, kau
ingin pulang ikut denganku, rumah kita searah kan?.” Pria ini adalah Riyan
salah satu guru muda di sanggar.”Tidak terimakasih, Riyan. Aku bisa jalan kaki
sendiri” aku membentangkan sedikit senyum agar sedikit sopan. Riyan mencoba
mendekatiku 6 bulan terakhir ini tapi aku sama sekali tak ingin berurusan
dengan pria manapun, entah sampai kapan.
Malam damai ini ku habiskan berbincang santai
dengan Nenek dan adikku Nana, Nana adalah pribadi yang ceria dan cerewet sedang
Nenekku adalah orang penyabar sekaligus pendengar yang baik bagi kami. Dia yang
membawaku pergi kemari hingga aku mendapatkan ketenangan hidup, pernah sesekali
Nana ingin membawaku kembali ke kota mengerikan itu namun aku tepis dengan
dingin agar dia tak membahasnya lagi.
Jam
menunjukkan pukul 7, aku siap beraktifitas seperti biasa. Aku adalah seorang
guru di sebuah sanggar kesenian di sudut kota Bogor. Guru – guru lain dan semua
murid tak ada yang menganggapku aneh dan berbeda, aku menyukai segala
kehangatan mereka ditengah musim yang dingin ini. “Ibu Vina, Ibu Vina ajarin
Mila main piano yang lagu Twingkel twingkel Litel Stal dong…” seru salah satu
muridku. “Iya, ayo sini Ibu ajarin.” sembari aku menirukan nada suaranya.
Beberapa
menit kami latihan, tiba – tiba seorang laki laki menggendong paksa Mila, Mila
yang kaget serta merta menangis, tepat diluar kelas laki – laki ini berkelahi
dengan ibu Mila, mungkin lelaki itu adalah ayahnya. Mereka bertengkar hebat berusaha merebut anak usia 4 tahun yang
menangis itu, kami yang berada jauh di sekitar mereka bersimpati namun kami tak
ingin ikut campur, pertengkaran hebat berakhir saat ibu Mila terdengar jatuh tersungkur karena
merebut anaknya yang tidak ia dapatkan. Aku tergopoh untuk mencari suara wanita ini dan membantunya berdiri.
Secara
bersamaan hal itu membuatku tertekan karena mengingatkanku dengan sebuah kota
mengerikan tempat kami tinggal, lahir dan merasakan kebahagiaan serta kepahitan
tak terlupakan..
---0---
“Hapy
Birthday, Slavina. Happy Birthday, Slavina. Happy Birhtday, Happy birthday,
Happy birthday, Slavina. Yeeeeiiiii bangun bangun, sayang..” nyanyian itu
membangunkanku di pukul 00.30 WITA, itu adalah kejutan ulang tahun di umurku
yang ke-17, mereka menutup mataku dan menuntunku berjalan ke luar rumah dan
saat aku membuka mata hadiah yang ku idam – idamkan ada didepan mataku, motor
vespa terbaru warna kuning terpajang di halaman rumah kami. Aku memeluk mereka
“Terimakasih Ayah, Ibu dan adikku tersayang.”
Siang
harinya kami berencana memutari kota Denpasar dengan vespa baru ku, tidak
terlalu susah mengendarai motor ini karena Ayah telah mengajariku sebelumnya,
Nana memiliki ageda lan di rumah Nenek jadi hanya kami bertiga yang pergi. Kami
menikmati keindahan kota hingga menjelang senja, menepi menunggu waktu makan
malam di sebuah Restoran Bamboe, aku naik ke atas panggung untuk bernyanyi dan
bermain piano. Aku bahagia sekali malam itu, lagu yang ku nyanyikan khusus
untuk mereka keluargaku tercinta, aku bangga memiliki mereka karena segala hal
yang aku bisa berasal dari keluarga ini. Menari, menyanyi, bermain musik hingga
memasak.
Aku yang hendak kembali ke tempat duduk kami mendengar ada suara bom tepat disudut restoran, bom seperti katak loncat ini terus mendekat ke arah tempat duduk kami. Para pengunjung yang ketakutan langsung beranjak pergi ke arah berlawanan denganku, tubuhku terhimpit sesak hingga aku tak dapat melihat ayah dan ibuku lagi, semakin kudorong, para pengunjug ini pun semakin menghantamku hingga jatuh dan tepat dipelipis mataku terantuk besi tumpul, disisi lain tubuhku tertendang oleh kaki mereka. aku terhuyung jatuh tak sadarkan diri.
Entah
apa yang mencegahku, untuk membuka mata serasa gelap. Aku bertanya apa aku
sudah meninggal, dimana ayah dan ibuku, dimana mereka, tubuh ini juga sangat
sagat berat dan sakit saat digerakkan. Butuh sedikit waktu agar suaraku keluar
dari mulutku. “Ayah, Ibu, dimana kalian?” suaraku parau. “Sayang, ini nenek.
Ini Nana. Bgaimana badanmu ?” “Kak . . . Ayah sama Ibu mau datang kok. Kakak
gimana keadaannya. Kakak ga bisa llihat ya, itu matanya di tutup.” Aku menangis
“Nek.. kenapa mata Slavina gelap, mana Ayah Ibu ? Mana ? Gimana keadaan mereka,
Nek ? Tanyain sama dokter kenapa mata Slavina tetep gelap.” Tangisku semakin
menjadi jadi.
“Slavina
sayang . . . Ayah sama Ibu disini. Sudah jangan nangis ya, Ibu panggil dokter
dulu.” Ayah datang menggenggam tanganku, aku merasakan bahwa lengan ayah
dibalut perban tebal sampai setengah wajahnya. “Ayah, Slavina gak bisa lihat
apapun, tolong bantuin buka perban mata Slavina, yah… bukain, Yah.. Slavina
takut!” rengekku. “Sudah
jangan takut.. Ibu akan jelaskan semuanya.”
Kenyataan
yang aku tau, setengah dari tubuh Ayah terbakar dan memiliki bekas yang tidak
bisa hilang, Ibu yang hampir sama luka bakarnya memenuhi bagian belakang tubuh
hingga kepala, dan aku yang koma selama 3 hari dengan segala luka dan lebam dan
tambahan yang paling menyakitkan adalah aku buta karena kacelakaan pelipis mata
itu. Aku mengurung diri selama 4 hari di kamar, tidak ingin bertemu siapapun,
tidak ingin makan apapun dan membuatku harus dibaw lagi ke rumah sakit karena
keadaan yang memprihatinkan.
Mulai
dari ini aku bertekad untuk bisa terbiasa dengan segala hal yang terjadi
kepadaku meski tak bisa secara langsung. 1 tahun ku lewati, tahun itu pula aku
dengar ayah dan ibu sering meributkan sesuatu. Mulai dari kecelakaan, kenapa
memilih restoran bamboe, hingga hal hal sepele yang membuat muak, mereka terus menyalahkan satu sama lain,
meski Nana tidak begitu sering mendengar Ayah dan Ibu bertengkar tetapi Nana
merasa tertekan hingga aku menyuruhnya untuk tinggal saja di rumah Nenek.
Hampir
2 tahun, aku sudah tak tahan lagi puncaknya Ayah menampar Ibu dan Ibu
memecahkan segala perabotan rumah. “Cuuukkuuupppp!!!!!!! Aapa yang Ayah Ibu
lakuin, apa kalian nggak capek begini terus, berhenti, Yah, Bu.” Aku datangi
mereka dengan langkah tidak jelas dan rintihan suaraku. Bukan ketenangan yang
aku dapat mereka semaki kasar dan ingin bercerai saja.
Beberapa
hari pasca pertengkaran hebat, Ibu
dan Ayah menghampiriku dengan nada emosi dan mengucapkan keinginannya untuk
bercerai saja dan menawarkanku ingin tinggal dengan siapa, begitu mudahnya
mereka mengucapkan hal ini. Aku muak!
Aku
menjerit aku serukan aku ingin sendiri, aku tidak ingin bersama siapapun. Kota
ini adalah sebab dari segala kehancuran ku dan keluargaku. Aku berlari tak
jelas hingga aku terperosok jatuh. “Biarakan aku pergi sendiri, Aku muak dengan
kota ini. Bawa aku pergi……. Aku muak denganmu dengan kalian!” Aku pergi ke
rumah nenek dengan taksi yang berhenti karena terhalang jalan olehku yang ada
ditengah persimpangan.
Nenek
membicarakan ini dengan Ibu lewat telefon, dan berusaha membuat Ibu yakin
memepercayakan kami kepada Nenek. Keesokan harinya kami bertiga pergi ke Bogor,
tinggal di vila Kakek yang sudah meninggal, hingga saat ini.
---0---
“Slavina,
Slavina, kau baik baik saja. Ini sudah jam 7 malam, kau tak pulang ?” Riyan
menyapaku, membuyarkan lamunanku. “Oh, iya. Em Ehm maaf aku ha-hanya lupa
membereskan berkas, Yan. Iya aku pulang sebentar lagi” sembari berpura- pura
membereskan buku anak- anak di rak buku, “Kau yakin, kau baik- baik saja? Aku
mau mengantarmu pulang jika kau tak keberatan, ini sudah gelap. Aku khawatir
denganmu.” Aku hanya berlalu dan berjalan keluar sanggar, menelfon Nana untuk
menjemputku.
“Slavina,
aku hanya berniat baik mengantarmu. Aku sudah mencoba menghubungi Nana tapi dia
sedang ada kegiatan tugas di luar kota dan Nana menitipkanu kepadaku.”
“Aku
hanya tidak ingin merepotkanmu, Yan. Aku bisa naik taksi. Terimakasih.”
“Katakan
jika aku ada salah, setidaknya aku akan tau alasanku menjauh darimu. Aku memang
menyukaimu tak peduli kau seperti apa, aku tau masa lalu kalian tak sebahagia
orang lain, tapi aku bukan orang yang harusnya kau benci dan aku yakin kau tau
jika setiap orang memiliki karakter yang berbeda, begitu halnya denganku. Jika
kau memutuskan pergi ke sini untuk memulai hidup baru, Bukankah harusnya kau
juga membuka hati untukku? Aku berbeda, Vina” Dia menjapai tanganku.
Aku
kehabisan alasan untuk menolaknya, ku tepis tanganku “Baiklah, bisa kau antar
aku sekarang?”
Sesampainya
di rumah aku langsung masuk tanpa memberi ucapan terimakasih, semalaman aku tak
bisa tidur memikirkan kata Riyan, Benar jika aku memutuskan untuk ke kota ini
agar memulai hidup baru, harusnya aku pun juga menyiapkan hatiku untuk
munculnya kebahagiaan kebahagiaan baru. Benarkah dia lelaki yang tepat untukku?
Entahlah, biarkan waktu menjawabnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar