Halaman

Minggu, 07 Desember 2014

Muak!


“Pergi! Pergi semuanya…. Aku mohon, pergi,Aku tidak ingin bertemu kalian, aku ingin sendiri. Pergi!!!”. Bagaimana bisa mereka melakukan ini padaku, Disaat aku kacau seperti ini, kenapa mereka. Bukankah aku dan adikku yang harus kalian pikirkan, mengapa kalian malah memikirkan diri kalian sendiri. Apa salahku setelah semua ini terjadi hingga kalian memutuskan untuk bercerai, seolah itu  hal yang mudah.


Hari ini adalah hari tepat masuk tahun ke lima di musim penghujan, meski sulit membedakan mana musim penghujan dan tidak di kota ini, aku menarik nafas perlahan mengucap syukur yang tak terkira  untuk Tuhan yang masih membuatku bertahan hidup dengan segala keterbatasaku. “Akhirnya aku tau makna hidup. Terimakasih Tuhan Engkau memberikan orang yang masih setia menemaniku hingga saat ini. Aku menyayangi Nenek dan Nana.” Kuhirup nafas sedalam dalamnya sembari membuka payung dan memanjangkan tongkat penuntun jalan menyambut hujan menetes dikulit tangan langsatku. Langkahku terhenti ketika ada suara berat memanggilku, “Slavina, kau ingin pulang ikut denganku, rumah kita searah kan?.” Pria ini adalah Riyan salah satu guru muda di sanggar.”Tidak terimakasih, Riyan. Aku bisa jalan kaki sendiri” aku membentangkan sedikit senyum agar sedikit sopan. Riyan mencoba mendekatiku 6 bulan terakhir ini tapi aku sama sekali tak ingin berurusan dengan pria manapun, entah sampai kapan.
  Malam damai ini ku habiskan berbincang santai dengan Nenek dan adikku Nana, Nana adalah pribadi yang ceria dan cerewet sedang Nenekku adalah orang penyabar sekaligus pendengar yang baik bagi kami. Dia yang membawaku pergi kemari hingga aku mendapatkan ketenangan hidup, pernah sesekali Nana ingin membawaku kembali ke kota mengerikan itu namun aku tepis dengan dingin agar dia tak membahasnya lagi.

Jam menunjukkan pukul 7, aku siap beraktifitas seperti biasa. Aku adalah seorang guru di sebuah sanggar kesenian di sudut kota Bogor. Guru – guru lain dan semua murid tak ada yang menganggapku aneh dan berbeda, aku menyukai segala kehangatan mereka ditengah musim yang dingin ini. “Ibu Vina, Ibu Vina ajarin Mila main piano yang lagu Twingkel twingkel Litel Stal dong…” seru salah satu muridku. “Iya, ayo sini Ibu ajarin.” sembari aku menirukan nada suaranya.
Beberapa menit kami latihan, tiba – tiba seorang laki laki menggendong paksa Mila, Mila yang kaget serta merta menangis, tepat diluar kelas laki – laki ini berkelahi dengan ibu Mila, mungkin lelaki itu adalah ayahnya. Mereka bertengkar hebat berusaha merebut anak usia 4 tahun yang menangis itu, kami yang berada jauh di sekitar mereka bersimpati namun kami tak ingin ikut campur, pertengkaran hebat berakhir saat ibu Mila terdengar jatuh tersungkur karena merebut anaknya yang tidak ia dapatkan. Aku tergopoh untuk mencari suara wanita ini dan membantunya berdiri.
Secara bersamaan hal itu membuatku tertekan karena mengingatkanku dengan sebuah kota mengerikan tempat kami tinggal, lahir dan merasakan kebahagiaan serta kepahitan tak terlupakan..
---0---

“Hapy Birthday, Slavina. Happy Birthday, Slavina. Happy Birhtday, Happy birthday, Happy birthday, Slavina. Yeeeeiiiii bangun bangun, sayang..” nyanyian itu membangunkanku di pukul 00.30 WITA, itu adalah kejutan ulang tahun di umurku yang ke-17, mereka menutup mataku dan menuntunku berjalan ke luar rumah dan saat aku membuka mata hadiah yang ku idam – idamkan ada didepan mataku, motor vespa terbaru warna kuning terpajang di halaman rumah kami. Aku memeluk mereka “Terimakasih Ayah, Ibu dan adikku tersayang.”
Siang harinya kami berencana memutari kota Denpasar dengan vespa baru ku, tidak terlalu susah mengendarai motor ini karena Ayah telah mengajariku sebelumnya, Nana memiliki ageda lan di rumah Nenek jadi hanya kami bertiga yang pergi. Kami menikmati keindahan kota hingga menjelang senja, menepi menunggu waktu makan malam di sebuah Restoran Bamboe, aku naik ke atas panggung untuk bernyanyi dan bermain piano. Aku bahagia sekali malam itu, lagu yang ku nyanyikan khusus untuk mereka keluargaku tercinta, aku bangga memiliki mereka karena segala hal yang aku bisa berasal dari keluarga ini. Menari, menyanyi, bermain musik hingga memasak.

Aku yang hendak kembali ke tempat duduk kami mendengar ada suara bom tepat disudut restoran, bom seperti katak loncat ini terus mendekat ke arah tempat duduk kami. Para pengunjung yang ketakutan langsung beranjak pergi ke arah berlawanan denganku, tubuhku terhimpit sesak hingga aku tak dapat melihat  ayah dan ibuku lagi, semakin kudorong, para pengunjug ini pun semakin menghantamku hingga jatuh dan tepat dipelipis mataku terantuk besi tumpul, disisi lain tubuhku tertendang oleh kaki mereka. aku terhuyung jatuh tak sadarkan diri.
Entah apa yang mencegahku, untuk membuka mata serasa gelap. Aku bertanya apa aku sudah meninggal, dimana ayah dan ibuku, dimana mereka, tubuh ini juga sangat sagat berat dan sakit saat digerakkan. Butuh sedikit waktu agar suaraku keluar dari mulutku. “Ayah, Ibu, dimana kalian?” suaraku parau. “Sayang, ini nenek. Ini Nana. Bgaimana badanmu ?” “Kak . . . Ayah sama Ibu mau datang kok. Kakak gimana keadaannya. Kakak ga bisa llihat ya, itu matanya di tutup.” Aku menangis “Nek.. kenapa mata Slavina gelap, mana Ayah Ibu ? Mana ? Gimana keadaan mereka, Nek ? Tanyain sama dokter kenapa mata Slavina tetep gelap.” Tangisku semakin menjadi jadi.

“Slavina sayang . . . Ayah sama Ibu disini. Sudah jangan nangis ya, Ibu panggil dokter dulu.” Ayah datang menggenggam tanganku, aku merasakan bahwa lengan ayah dibalut perban tebal sampai setengah wajahnya. “Ayah, Slavina gak bisa lihat apapun, tolong bantuin buka perban mata Slavina, yah… bukain, Yah.. Slavina takut!” rengekku. “Sudah jangan takut.. Ibu akan jelaskan semuanya.”

Kenyataan yang aku tau, setengah dari tubuh Ayah terbakar dan memiliki bekas yang tidak bisa hilang, Ibu yang hampir sama luka bakarnya memenuhi bagian belakang tubuh hingga kepala, dan aku yang koma selama 3 hari dengan segala luka dan lebam dan tambahan yang paling menyakitkan adalah aku buta karena kacelakaan pelipis mata itu. Aku mengurung diri selama 4 hari di kamar, tidak ingin bertemu siapapun, tidak ingin makan apapun dan membuatku harus dibaw lagi ke rumah sakit karena keadaan yang memprihatinkan.
Mulai dari ini aku bertekad untuk bisa terbiasa dengan segala hal yang terjadi kepadaku meski tak bisa secara langsung. 1 tahun ku lewati, tahun itu pula aku dengar ayah dan ibu sering meributkan sesuatu. Mulai dari kecelakaan, kenapa memilih restoran bamboe, hingga hal hal sepele yang membuat muak, mereka terus menyalahkan satu sama lain, meski Nana tidak begitu sering mendengar Ayah dan Ibu bertengkar tetapi Nana merasa tertekan hingga aku menyuruhnya untuk tinggal saja di rumah Nenek.
Hampir 2 tahun, aku sudah tak tahan lagi puncaknya Ayah menampar Ibu dan Ibu memecahkan segala perabotan rumah. “Cuuukkuuupppp!!!!!!! Aapa yang Ayah Ibu lakuin, apa kalian nggak capek begini terus, berhenti, Yah, Bu.” Aku datangi mereka dengan langkah tidak jelas dan rintihan suaraku. Bukan ketenangan yang aku dapat mereka semaki kasar dan ingin bercerai saja.

Beberapa hari pasca pertengkaran hebat, Ibu dan Ayah menghampiriku dengan nada emosi dan mengucapkan keinginannya untuk bercerai saja dan menawarkanku ingin tinggal dengan siapa, begitu mudahnya mereka mengucapkan hal ini. Aku muak!
Aku menjerit aku serukan aku ingin sendiri, aku tidak ingin bersama siapapun. Kota ini adalah sebab dari segala kehancuran ku dan keluargaku. Aku berlari tak jelas hingga aku terperosok jatuh. “Biarakan aku pergi sendiri, Aku muak dengan kota ini. Bawa aku pergi……. Aku muak denganmu dengan kalian!” Aku pergi ke rumah nenek dengan taksi yang berhenti karena terhalang jalan olehku yang ada ditengah persimpangan.
Nenek membicarakan ini dengan Ibu lewat telefon, dan berusaha membuat Ibu yakin memepercayakan kami kepada Nenek. Keesokan harinya kami bertiga pergi ke Bogor, tinggal di vila Kakek yang sudah meninggal, hingga saat ini.
---0---

“Slavina, Slavina, kau baik baik saja. Ini sudah jam 7 malam, kau tak pulang ?” Riyan menyapaku, membuyarkan lamunanku. “Oh, iya. Em Ehm maaf aku ha-hanya lupa membereskan berkas, Yan. Iya aku pulang sebentar lagi” sembari berpura- pura membereskan buku anak- anak di rak buku, “Kau yakin, kau baik- baik saja? Aku mau mengantarmu pulang jika kau tak keberatan, ini sudah gelap. Aku khawatir denganmu.” Aku hanya berlalu dan berjalan keluar sanggar, menelfon Nana untuk menjemputku.
“Slavina, aku hanya berniat baik mengantarmu. Aku sudah mencoba menghubungi Nana tapi dia sedang ada kegiatan tugas di luar kota dan Nana menitipkanu kepadaku.”
“Aku hanya tidak ingin merepotkanmu, Yan. Aku bisa naik taksi. Terimakasih.”
“Katakan jika aku ada salah, setidaknya aku akan tau alasanku menjauh darimu. Aku memang menyukaimu tak peduli kau seperti apa, aku tau masa lalu kalian tak sebahagia orang lain, tapi aku bukan orang yang harusnya kau benci dan aku yakin kau tau jika setiap orang memiliki karakter yang berbeda, begitu halnya denganku. Jika kau memutuskan pergi ke sini untuk memulai hidup baru, Bukankah harusnya kau juga membuka hati untukku? Aku berbeda, Vina” Dia menjapai tanganku.
Aku kehabisan alasan untuk menolaknya, ku tepis tanganku “Baiklah, bisa kau antar aku sekarang?”

Sesampainya di rumah aku langsung masuk tanpa memberi ucapan terimakasih, semalaman aku tak bisa tidur memikirkan kata Riyan, Benar jika aku memutuskan untuk ke kota ini agar memulai hidup baru, harusnya aku pun juga menyiapkan hatiku untuk munculnya kebahagiaan kebahagiaan baru. Benarkah dia lelaki yang tepat untukku? Entahlah, biarkan waktu menjawabnya.